Rabu, 05 Juni 2013



tulisan 15

Dampak Stance Kebijakan Moneter pada Dinamika Kredit Jangka Pendek

Berdasarkan hasil estimasi yang disampaikan dalam Tabel 1, hasil perhitungan untuk dampak dari stance kebijakan moneter yang berinteraksi dengan variabel perilaku risiko adalah sebagai berikut:
Hasil perhitungan yang disampaikan pada Tabel 3 menunjukan bahwa hanya  stance kebijakan moneter longgar yang memiliki pengaruh signifikan pada dinamika kredit perbankan jangka pendek. Berdasarkan arah koefisien yang diperoleh, dampak stance kebijakan moneter longgar pada pertumbuhan kredit perbankan akan lebih rendah dibandingkan dengan pada saat stance kebijakan moneter yang dijalankan tidak longgar. Pada kredit investasi, saat kebijakan moneter longgar, pertumbuhan kredit investasi akan 0.01786 (1.786 persen) lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan kredit investasi saat kebijakan moneter tidak longgar. Artinya, jika ratarata pertumbuhan kredit investasi adalah 10 persen pada saat tidak dilakukan kebijakan moneter yang longgar, maka pada saat kebijakan moneter longgar, rata-rata pertumbuhan kredit investasi adalah 8.214 persen, ceteris paribus. Hasil analisis yang sama juga dapat diberlakukan untuk kredit modal kerja dan kredit konsumsi.  Pada kredit modal kerja saat kebijakan moneter longgar, pertumbuhan kredit modal kerja akan sebesar 2.453 persen lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan kredit modal kerja. Pada kredit konsumsi, saat kebijakan moneter longgar, pertumbuhan kredit konsumsi akan sebesar 2.876 persen lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit konsumsi.
Implikasi dari temuan empiris untuk dampak stance kebijakan moneter ketat adalah kontraksi moneter saat berinteraksi dengan kedua variabel perilaku risiko yang digunakan tidak mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek pada ketiga jenis kredit yang disalurkan oleh perbankan. Temuan empiris  tersebut tidak sesuai dengan teori bahwa kebijakan moneter yang berinteraksi dengan variabel risiko mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek secara signifikan. Temuan tersebut mengindikasikan adanya dampak variabel risiko yang bersifat mengeliminir peran kebijakan moneter dalam mengkontraksi perekonomian. Kebijakan moneter kontraktif dilakukan pada saat perekonomian sedang boom, sedangkan pada saat yang bersamaan persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan cenderung rendah. Akibatnya, pengetatan moneter yang seharusnya mengkontraksi perekonomian melalui jalur kredit menjadi hilang dampaknya. Temuan empiris tersebut mengindikasikan bahwa walaupun bank sentral memberlakukan kebijakan moneter ketat, namun  t idak  cukup ketat  untuk mengkont raks i  perekonomian melalui  penurunan pertumbuhan kredit perbankan.
Selanjutnya, pada saat kebijakan moneter longgar berinteraksi dengan variabel perilaku risiko memiliki dampak yang negatif dan signifikan untuk ketiga jenis kredit yang disalurkan perbankan. Temuan empiris tersebut seuai dengan teori yang menyatakan adanya dampak signifikan dari kebijakan moneter longgar yang berinteraksi dengan variabel perilaku risiko. Arah hubungan koefisien hasil estimasi menunjukan hubungan yang negatif. Hasil ini menunjukan bahwa kebi jakan moneter   yang ekspans i f   t idak mampu meningkatkan pertumbuhan kredit perbankan. Pada saat kebijakan moneter ekspansif (diberlakukan dengan tujuan menstimulasi perekonomian yang berada dalam tekanan), persepsi risiko dari pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan cenderung tinggi (rata-ratanya tinggi dalam periode analisis). Akibatnya, pelonggaran kebijakan moneter tidak dapat mendorong peningkatan perekonomian melalui peningkatan kredit perbankan, malah memiliki dampak yang terbalik dengan menurunkan pertumbuhan kredit yang selanjutnya dapat mengkontraksi perekonomian. Temuan ini menunjukkan bahwa pada saat pelonggaran kebijakan moneter dijalankan oleh bank sentral, sebagai usaha untuk menggerakan perekonomian, pelaku ekonomi sektor perbankan cenderung memiliki persepsi risiko yang tinggi. Dengan demikian, perbankan akan menetapkan premi risiko yang tinggi dalam pada tingkat bunga kredit yang ditawarkan sektor perbankan. Dengan kata lain, terjadi rigiditas suku bunga kredit pada saat diberlakukan ekspansi moneter. Penjelasan lain yang dapat disampaikan adalah bahwa adanya kecenderungan pelaku ekonomi di sektor perbankan yang memandang kebijakan moneter longgar sebagai indikasi perekonomian sedang mengalami tekanan. Akibatnya, perbankan menjadi semakin selektif dalam mengalokasikan asetnya ke sektor kredit.
Beberapa kesimpulan pokok yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan memiliki peran yang signifikan dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur kredit di Indonesia. Variabel persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan saat berinteraksi dengan stance kebijakan moneter menyebabkan pembalikan arah dampak kebijakan moneter yang longgar. Stance kebijakan moneter yang longgar dapat merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi di sektor perbankan sebagai kondisi perekonomian sedang menuju perkembangan yang kurang baik. Sebaliknya, stance kebijakan moneter yang ketat untuk mengkontraksi perekonomian melalui jalur kredit perbankan menjadi tidak efektif pada saat berinteraksi dengan variabel persepsi risiko pelaku dan tingkat risiko di sektor perbankan. Hal ini kemungkinan karena adanya dampak perilaku risiko yang bersifat mengeliminir peran kebijakan moneter dalam mengkontraksi perekonomian.
Secara tidak langsung, temuan tersebut juga menyimpulkan bahwa untuk kasus Indonesia, stance kebijakan moneter yang longgar memiliki efek yang menyebabkan pelaku di sektor perbankan cenderung semakin  risk averse. Temuan ini berbeda dengan hasil temuan yang dikemukakan oleh Taylor (2009) untuk kasus negara-negara maju, dimana pada negara-negara maju pelonggaran kebijakan moneter menyebabkan pelaku ekonomi di sektor keuangan menjadi semakin risk taker. Analisis juga menunjukkan adanya indikasi dampak yang tidak simetris dari kebijakan moneter ketat dan longgar saat berinteraksi dengan variabel perilaku risiko. Pada saat kebijakan moneter ketat, perilaku risiko cenderung mengeliminir dampak pengetatan moneter terhadap dinamika jangka pendek kredit perbankan. Pada saat kebijakan moneter longgar, penurunan suku bunga kebijakan bank sentral tidak mampu menurunkan suku bunga kredit perbankan agar bisa mendorong peningkatan kredit, sebagai dampak dari perilaku risiko yang cenderung tinggi pada saat kondisi ekonomi dalam tekanan.
Terkait dengan hasil temuan empiris di atas, terdapat beberapa implikasi kebijakan mendasar yang mengarah pada perlunya integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial di sektor keuangan, sebagai berikut. Pertama, perlunya Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter dan perbankan, untuk memperhitungkan peran persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan dalam perumusan kebijakan moneter dan sistem keuangan di Indonesia. Penelitian ini pada dasarnya dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan awal untuk memperhitungkan perilaku risiko di sektor keuangan dalam fungsi reaksi kebijakan moneter, yang diharapkan dapat mengatasi isu (pro)siklikalitas perekonomian secara luas. Kedua,  dalam konteks untuk mendorong pendalaman dan perluasan peran pasar keuangan, Bank Indonesia perlu melakukan telaah lebih mendalam terkait dengan dampak dinamika di sektor keuangan terhadap efektivitas kebijakan moneter yang dijalankan. Ketiga, sejalan dengan interaksi yang sangat erat antara dinamika (stabilitas) sektor moneter dan sektor keuangan, penguatan koordinasi kebijakan sangat dituntut dari para otoritas terkait dalam menjalankan kebijakan moneter dan kebijakan di sektor keuangan secara terintegrasi.
Pada akhirnya, dapat disampaikan bahwa penelitian ini merupakan penelitian awal. Secara analitis, penelitian awal ini baru menghasilkan bukti keberadaan jalur risiko dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia, setidaknya pada saat kebijakan moneter longgar dijalankan. Di luar fakta tersebut masih bersifat black box, mengingat bagaimana proses dan alur dari mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur risiko itu sendiri belum mampu dijelaskan oleh hasil temuan ini. Oleh karena itu, ke depan sangat diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat lebih dalam fenomena yang terdapat di dalam  black box tersebut. Di samping itu, penyempurnaan metodologi dapat dilakukan, khususnya terkait dengan pemilihan alternatif indikator perilaku risiko, disagregasi penaksiran indikator perilaku risiko yang mengacu pada individu maupun kelompok bank, serta kemungkinan terdapatnya feedback mechanism di antara kedua variabel perilaku risiko yang digunakan. Penyempurnaan tersebut diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan empiris yang  belum dapat dijelaskan dengan baik dalam penelitian ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar