tulisan 15
Dampak Stance Kebijakan Moneter pada
Dinamika Kredit Jangka Pendek
Berdasarkan
hasil estimasi yang disampaikan dalam Tabel 1, hasil perhitungan untuk dampak
dari stance kebijakan moneter yang berinteraksi dengan variabel perilaku risiko
adalah sebagai berikut:
Hasil
perhitungan yang disampaikan pada Tabel 3 menunjukan bahwa hanya stance kebijakan moneter longgar yang
memiliki pengaruh signifikan pada dinamika kredit perbankan jangka pendek.
Berdasarkan arah koefisien yang diperoleh, dampak stance kebijakan moneter
longgar pada pertumbuhan kredit perbankan akan lebih rendah dibandingkan dengan
pada saat stance kebijakan moneter yang dijalankan tidak longgar. Pada kredit
investasi, saat kebijakan moneter longgar, pertumbuhan kredit investasi akan
0.01786 (1.786 persen) lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan kredit investasi
saat kebijakan moneter tidak longgar. Artinya, jika ratarata pertumbuhan kredit
investasi adalah 10 persen pada saat tidak dilakukan kebijakan moneter yang
longgar, maka pada saat kebijakan moneter longgar, rata-rata pertumbuhan kredit
investasi adalah 8.214 persen, ceteris paribus. Hasil analisis yang sama juga
dapat diberlakukan untuk kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Pada kredit modal kerja saat kebijakan
moneter longgar, pertumbuhan kredit modal kerja akan sebesar 2.453 persen lebih
rendah dari rata-rata pertumbuhan kredit modal kerja. Pada kredit konsumsi,
saat kebijakan moneter longgar, pertumbuhan kredit konsumsi akan sebesar 2.876
persen lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit konsumsi.
Implikasi
dari temuan empiris untuk dampak stance kebijakan moneter ketat adalah
kontraksi moneter saat berinteraksi dengan kedua variabel perilaku risiko yang
digunakan tidak mempengaruhi dinamika kredit jangka pendek pada ketiga jenis
kredit yang disalurkan oleh perbankan. Temuan empiris tersebut tidak sesuai dengan teori bahwa
kebijakan moneter yang berinteraksi dengan variabel risiko mempengaruhi
dinamika kredit jangka pendek secara signifikan. Temuan tersebut
mengindikasikan adanya dampak variabel risiko yang bersifat mengeliminir peran
kebijakan moneter dalam mengkontraksi perekonomian. Kebijakan moneter
kontraktif dilakukan pada saat perekonomian sedang boom, sedangkan pada saat
yang bersamaan persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor
perbankan cenderung rendah. Akibatnya, pengetatan moneter yang seharusnya
mengkontraksi perekonomian melalui jalur kredit menjadi hilang dampaknya.
Temuan empiris tersebut mengindikasikan bahwa walaupun bank sentral
memberlakukan kebijakan moneter ketat, namun
t idak cukup ketat untuk mengkont raks i perekonomian melalui penurunan pertumbuhan kredit perbankan.
Selanjutnya,
pada saat kebijakan moneter longgar berinteraksi dengan variabel perilaku
risiko memiliki dampak yang negatif dan signifikan untuk ketiga jenis kredit
yang disalurkan perbankan. Temuan empiris tersebut seuai dengan teori yang
menyatakan adanya dampak signifikan dari kebijakan moneter longgar yang
berinteraksi dengan variabel perilaku risiko. Arah hubungan koefisien hasil
estimasi menunjukan hubungan yang negatif. Hasil ini menunjukan bahwa kebi
jakan moneter yang ekspans i f t idak mampu meningkatkan pertumbuhan kredit
perbankan. Pada saat kebijakan moneter ekspansif (diberlakukan dengan tujuan
menstimulasi perekonomian yang berada dalam tekanan), persepsi risiko dari
pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan cenderung tinggi
(rata-ratanya tinggi dalam periode analisis). Akibatnya, pelonggaran kebijakan
moneter tidak dapat mendorong peningkatan perekonomian melalui peningkatan
kredit perbankan, malah memiliki dampak yang terbalik dengan menurunkan
pertumbuhan kredit yang selanjutnya dapat mengkontraksi perekonomian. Temuan
ini menunjukkan bahwa pada saat pelonggaran kebijakan moneter dijalankan oleh
bank sentral, sebagai usaha untuk menggerakan perekonomian, pelaku ekonomi
sektor perbankan cenderung memiliki persepsi risiko yang tinggi. Dengan demikian,
perbankan akan menetapkan premi risiko yang tinggi dalam pada tingkat bunga
kredit yang ditawarkan sektor perbankan. Dengan kata lain, terjadi rigiditas
suku bunga kredit pada saat diberlakukan ekspansi moneter. Penjelasan lain yang
dapat disampaikan adalah bahwa adanya kecenderungan pelaku ekonomi di sektor
perbankan yang memandang kebijakan moneter longgar sebagai indikasi
perekonomian sedang mengalami tekanan. Akibatnya, perbankan menjadi semakin
selektif dalam mengalokasikan asetnya ke sektor kredit.
Beberapa
kesimpulan pokok yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa persepsi
risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan memiliki peran
yang signifikan dalam mentransmisikan kebijakan moneter melalui jalur kredit di
Indonesia. Variabel persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor
perbankan saat berinteraksi dengan stance kebijakan moneter menyebabkan
pembalikan arah dampak kebijakan moneter yang longgar. Stance kebijakan moneter
yang longgar dapat merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi di sektor perbankan
sebagai kondisi perekonomian sedang menuju perkembangan yang kurang baik.
Sebaliknya, stance kebijakan moneter yang ketat untuk mengkontraksi
perekonomian melalui jalur kredit perbankan menjadi tidak efektif pada saat
berinteraksi dengan variabel persepsi risiko pelaku dan tingkat risiko di
sektor perbankan. Hal ini kemungkinan karena adanya dampak perilaku risiko yang
bersifat mengeliminir peran kebijakan moneter dalam mengkontraksi perekonomian.
Secara
tidak langsung, temuan tersebut juga menyimpulkan bahwa untuk kasus Indonesia,
stance kebijakan moneter yang longgar memiliki efek yang menyebabkan pelaku di
sektor perbankan cenderung semakin risk
averse. Temuan ini berbeda dengan hasil temuan yang dikemukakan oleh Taylor
(2009) untuk kasus negara-negara maju, dimana pada negara-negara maju
pelonggaran kebijakan moneter menyebabkan pelaku ekonomi di sektor keuangan
menjadi semakin risk taker. Analisis juga menunjukkan adanya indikasi dampak
yang tidak simetris dari kebijakan moneter ketat dan longgar saat berinteraksi
dengan variabel perilaku risiko. Pada saat kebijakan moneter ketat, perilaku
risiko cenderung mengeliminir dampak pengetatan moneter terhadap dinamika
jangka pendek kredit perbankan. Pada saat kebijakan moneter longgar, penurunan
suku bunga kebijakan bank sentral tidak mampu menurunkan suku bunga kredit
perbankan agar bisa mendorong peningkatan kredit, sebagai dampak dari perilaku
risiko yang cenderung tinggi pada saat kondisi ekonomi dalam tekanan.
Terkait
dengan hasil temuan empiris di atas, terdapat beberapa implikasi kebijakan
mendasar yang mengarah pada perlunya integrasi kebijakan moneter dan
makroprudensial di sektor keuangan, sebagai berikut. Pertama, perlunya Bank
Indonesia, sebagai otoritas moneter dan perbankan, untuk memperhitungkan peran
persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di sektor perbankan dalam
perumusan kebijakan moneter dan sistem keuangan di Indonesia. Penelitian ini
pada dasarnya dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan awal untuk
memperhitungkan perilaku risiko di sektor keuangan dalam fungsi reaksi
kebijakan moneter, yang diharapkan dapat mengatasi isu (pro)siklikalitas
perekonomian secara luas. Kedua, dalam
konteks untuk mendorong pendalaman dan perluasan peran pasar keuangan, Bank
Indonesia perlu melakukan telaah lebih mendalam terkait dengan dampak dinamika
di sektor keuangan terhadap efektivitas kebijakan moneter yang dijalankan.
Ketiga, sejalan dengan interaksi yang sangat erat antara dinamika (stabilitas)
sektor moneter dan sektor keuangan, penguatan koordinasi kebijakan sangat
dituntut dari para otoritas terkait dalam menjalankan kebijakan moneter dan
kebijakan di sektor keuangan secara terintegrasi.
Pada
akhirnya, dapat disampaikan bahwa penelitian ini merupakan penelitian awal.
Secara analitis, penelitian awal ini baru menghasilkan bukti keberadaan jalur
risiko dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia, setidaknya
pada saat kebijakan moneter longgar dijalankan. Di luar fakta tersebut masih
bersifat black box, mengingat bagaimana proses dan alur dari mekanisme
transmisi kebijakan moneter melalui jalur risiko itu sendiri belum mampu
dijelaskan oleh hasil temuan ini. Oleh karena itu, ke depan sangat diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk melihat lebih dalam fenomena yang terdapat di
dalam black box tersebut. Di samping
itu, penyempurnaan metodologi dapat dilakukan, khususnya terkait dengan
pemilihan alternatif indikator perilaku risiko, disagregasi penaksiran
indikator perilaku risiko yang mengacu pada individu maupun kelompok bank,
serta kemungkinan terdapatnya feedback mechanism di antara kedua variabel
perilaku risiko yang digunakan. Penyempurnaan tersebut diharapkan dapat
menjawab beberapa pertanyaan empiris yang
belum dapat dijelaskan dengan baik dalam penelitian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar